
— Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan wajib pencampuran etanol hingga 15 persen (E15) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) sebagai bagian dari upaya memperluas penggunaan energi terbarukan di sektor transportasi.
Langkah ini merupakan bagian dari peta jalan pengembangan bioetanol nasional yang ditargetkan mulai diterapkan pada tahun 2025.
Namun, di lapangan, implementasi kebijakan tersebut diperkirakan tidak akan mudah.
Menurut Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga pakar bahan bakar dan pelumas, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, rencana penerapan BBM campuran etanol masih memerlukan waktu panjang untuk benar-benar siap dijalankan secara nasional.
“Sepertinya tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Masih butuh banyak persiapan dari sisi kendaraan, produksi etanol, masalah cukai etanol, sosialisasi ke masyarakat, kesiapan sarana dan fasilitas, baik depo maupun SPBU, mobil tangki, dan lain-lain,” kata Tri kepada Kompas.com, Rabu (9/10/2025).
Tri menjelaskan, dari sisi teknis, tidak semua kendaraan yang beredar saat ini kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol 15 persen.
mobil lama, terutama yang belum dirancang untuk bahan bakar bio, berpotensi mengalami masalah pada sistem bahan bakar, seperti korosi pada tangki atau kebocoran di selang dan seal berbahan karet.
Ilustrasi SPBU Pertamina, yang beroperasi di bawah PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Tiga bisnis hilir Pertamina yakni PT Pertamina Patra Niaga (PPN), PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), dan PT Pertamina International Shipping (PIS) bakal dilebur jadi 1 entitas bisnis baru sebelum Desember 2025.
Selain itu, produksi etanol dalam negeri juga belum memadai untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Menurutnya, kapasitas pabrik etanol di Indonesia masih terbatas dan sebagian besar produksinya digunakan untuk keperluan industri farmasi dan minuman, bukan untuk bahan bakar.
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah persoalan regulasi dan fiskal. “Etanol sampai sekarang masih termasuk barang kena cukai. Selama status itu belum dibenahi, tentu akan sulit menjadikannya bahan campuran BBM yang ekonomis,” ujarnya.
Tri menambahkan, aspek logistik juga memerlukan perhatian serius.
Pengangkutan dan penyimpanan etanol memerlukan penanganan khusus karena sifatnya yang mudah menyerap air dan korosif terhadap logam tertentu.
Artinya, infrastruktur seperti tangki penyimpanan di depo, mobil tangki pengangkut, hingga fasilitas di SPBU perlu dimodifikasi agar aman dan efisien. “Jadi bukan hanya soal mencampur etanol ke bensin saja. Ini menyangkut kesiapan sistem secara menyeluruh, dari hulu sampai hilir,” kata Tri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.