
Pemerintah berencana menerapkan aturan baru terkait bahan bakar minyak (BBM). Nantinya, bensin akan dicampur dengan etanol sebanyak 10 persen atau dikenal dengan sebutan E10.
Langkah ini dilakukan untuk menghadirkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, kebijakan tersebut sudah mendapatkan persetujuan langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat ditemui di Sarinah, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Wacana ini menarik sebab muncul tak lama setelah base fuel yang disediakan Pertamina Patra Niaga batal dibeli oleh sejumlah Badan Usaha penyedia BBM swasta lantaran mengandung etanol sebesar 3,5 persen.
Padahal, penggunaan etanol dalam BBM bukan hal baru. Teknologi ini sudah menjadi standar di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Brasil, Uni Eropa, hingga beberapa negara di Asia.
Sebelumnya, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, mengatakan bahwa penggunaan etanol dalam BBM merupakan best practice yang telah diterapkan secara internasional.
"Langkah ini sejalan dengan upaya global untuk menekan emisi karbon, meningkatkan kualitas udara, sekaligus mendukung transisi energi yang berkelanjutan," ujar Roberth saat dihubungi Kompas.com belum lama ini.
Ilustrasi SPBU Pertamina, yang beroperasi di bawah PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Tiga bisnis hilir Pertamina yakni PT Pertamina Patra Niaga (PPN), PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), dan PT Pertamina International Shipping (PIS) bakal dilebur jadi 1 entitas bisnis baru sebelum Desember 2025.
Roberth mencontohkan, Amerika Serikat sudah lama menjalankan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang mewajibkan pencampuran etanol ke dalam bensin dengan kadar umum E10 (10 persen etanol) dan E85 untuk kendaraan fleksibel.
"Brasil menjadi pelopor penggunaan etanol berbasis tebu, dengan implementasi skala nasional hingga mencapai campuran E27 (27 persen etanol) pada bensin, sehingga membuat Brasil dikenal sebagai salah satu negara dengan kendaraan berbahan bakar etanol terbesar di dunia, dan masyarakatnya sudah terbiasa mengisi BBM dengan etanol sejak puluhan tahun lalu," ujarnya.
Di kawasan Uni Eropa, kebijakan serupa diterapkan melalui Renewable Energy Directive (RED II) dengan target bauran energi terbarukan di sektor transportasi.
Roberth mengatakan, campuran E10 kini telah menjadi standar di banyak negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, sebagai standar untuk mengurangi polusi udara.
Ilustrasi tanaman tebu.
Tak hanya itu, negara-negara Asia pun mulai bergerak ke arah yang sama.
"Asia pun mulai mengadopsi kebijakan serupa, dengan India mendorong program etanol blending hingga 20 persen (E20) pada 2030 sebagai bagian dari roadmap menuju transportasi rendah karbon serta mendukung petani tebu," ujar Roberth.
Roberth menegaskan, pemanfaatan etanol dalam BBM membawa banyak manfaat, mulai dari sisi lingkungan hingga ekonomi.
“Penggunaan etanol dalam BBM bukan hal baru, melainkan praktik yang sudah mapan secara global. Implementasi ini terbukti berhasil mengurangi emisi gas buang, menekan ketergantungan pada bahan bakar fosil murni, serta mendukung peningkatan perekonomian masyarakat lokal melalui pemanfaatan bahan baku pertanian,” kata Roberth.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.