
— Pemerintah menargetkan penerapan bahan bakar minyak (BBM) campur etanol atau E10 dapat dilakukan dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa langkah ini menjadi tahap awal menuju pemanfaatan energi terbarukan yang lebih luas di sektor transportasi.
Namun, di tengah optimisme tersebut, muncul pertanyaan tentang kesiapan ekosistem pendukungnya, mulai dari regulasi, industri otomotif, hingga kapasitas produksi bioetanol nasional.
Tri Yuswidjajanto, pakar otomotif dan energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa secara teknis, kendaraan di Indonesia sudah siap menggunakan bensin dengan campuran etanol hingga 10 persen. “Mobil maupun sepeda motor yang mengikuti regulasi emisi terbaru bisa memakai bensin campur etanol tanpa masalah berarti,” ujar Tri kepada Kompas.com, Rabu (8/10/2025).
Ia menambahkan bahwa penurunan nilai kalor akibat pencampuran etanol justru sangat kecil.
Dengan kandungan energi etanol sekitar 28,25 MJ/Kg dan bensin 40 MJ/Kg, campuran E3,5 hanya menurunkan nilai kalor total sekitar 1 persen. “Efeknya nyaris tak terasa, baik pada konsumsi bahan bakar, akselerasi, maupun performa kendaraan,” kata Tri.
Menurutnya, standar World Wide Fuel Charter bahkan masih mengizinkan penurunan daya mesin hingga 2 persen, sehingga pencampuran etanol di level rendah tergolong aman.
Tri menegaskan bahwa persoalan bukan pada teknis pembakaran, melainkan pada konsistensi regulasi dan kesiapan sistem pendukung.
Pemerintah sudah memiliki Keputusan Dirjen Migas yang mengatur spesifikasi bahan bakar, serta peta jalan pengembangan biofuel yang disusun sejak lebih dari satu dekade lalu. “Tinggal dijalankan secara konsisten, jangan berubah arah di tengah jalan,” ujarnya.
Di lapangan, tantangan terbesar justru muncul dari sisi produksi dan distribusi.
Indonesia memang kaya bahan baku etanol, mulai dari singkong, tebu, jagung, hingga limbah pertanian seperti jerami dan bagas tebu, tetapi kemampuan produksinya masih terbatas.
Kapasitas industri bioetanol nasional belum mencukupi kebutuhan jika E10 diterapkan secara luas, apalagi tanpa dukungan infrastruktur dan insentif yang memadai.
Kebijakan energi hijau membutuhkan keberanian untuk berpindah dari fase rencana ke tahap implementasi.
Regulasi dan roadmap sudah tersedia, tetapi kesiapan di lapangan masih perlu dibuktikan.
Tanpa koordinasi lintas sektor dan komitmen yang kuat, ambisi menuju era BBM etanol bisa kembali berhenti di tataran wacana, bukan menjadi langkah nyata menuju energi yang lebih bersih.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.