
Pemerintah berencana mulai menerapkan penggunaan bahan bakar campuran bioetanol E10 pada tahun 2026.
Namun, rencana ini dinilai masih membutuhkan banyak persiapan, terutama dari sisi ketersediaan pasokan etanol dan kesiapan infrastruktur produksi di dalam negeri.
Tri Yuswidjajanto Zaenuri, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) sekaligus pakar bahan bakar dan pelumas, mengatakan bahwa untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus memastikan pasokan etanol tersedia dalam jumlah besar.
Toyota berkolaborasi dengan Pertamina dan Sera untuk uji bioetanol E10
“Pertama, etanolnya sudah ada atau belum tahun 2026. Karena kalau 28 juta kiloliter bensin masih dikonsumsi masyarakat, dan semuanya mau dietanolkan, berarti butuh sekitar 2,8 miliar liter etanol kalau E10,” ujar Yuswidjajanto saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/10/2025).
Menurutnya, kapasitas produksi etanol di dalam negeri masih sangat terbatas. Sebagai contoh, pabrik Enero di Sidoarjo, yang saat ini menyuplai bioetanol untuk Pertamina, hanya mampu memproduksi sekitar 100.000 liter per hari, atau sekitar 36 juta liter per tahun.
“Kalau dihitung, jumlah itu masih sangat kecil dibanding kebutuhan nasional. Artinya, Indonesia perlu banyak pabrik etanol baru, dan sebaiknya tersebar di berbagai wilayah, tidak hanya di Pulau Jawa,” kata dia.
Toyota Fortuner hasil konversi 100 persen kompatibel dengan bahan bakar Bioetanol atau E100.
Lebih lanjut, Yuswidjajanto menjelaskan bahwa sumber bahan baku etanol bisa berasal dari berbagai hasil pertanian, seperti jagung, singkong, dan sorgum. Namun, pengembangan tanaman energi tersebut juga membutuhkan lahan yang luas, sementara ketersediaan lahan di Pulau Jawa relatif terbatas.
“Kebun yang luas di Jawa enggak ada tanahnya, tersedianya memang di luar Jawa. Jadi, jarak antara kebun dengan pabrik jangan terlalu jauh,” ujarnya.
Selain persoalan pasokan, Yuswidjajanto juga menyoroti kesiapan kendaraan di Indonesia. Tidak semua kendaraan yang beredar saat ini kompatibel dengan bahan bakar E10.
Ilustrasi mobil dengan bahan bakar bioetanol
“Kalau belum compatible, artinya ada perubahan dari material komponennya. Material yang terbuat dari karet alam harus diganti dengan yang sintetis. Begitu pula dengan komponen yang aftermarket,” katanya.
Dia menambahkan, seluruh proses transisi menuju penggunaan bioetanol E10 tidak hanya menyangkut sisi teknis, tapi juga membutuhkan sosialisasi yang luas kepada masyarakat agar penerapan program ini bisa berjalan mulus.
Menurut Yuswidjajanto, semua itu membutuhkan persiapan, belum lagi sosialisasi ke masyarakat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.