
Program penggunaan bahan bakar campuran bioetanol (E10) mulai ramai dibahas menjelang implementasinya di Indonesia. Namun, tidak semua kendaraan disarankan menggunakan bahan bakar jenis ini, terutama motor yang masih menggunakan sistem karburator.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga pakar bahan bakar dan pelumas, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, mengatakan, etanol memiliki sifat menarik air, sehingga bersifat korosif.
"Kalau karburator, efek kondensasi dari uap air yang ada di udaranya lebih besar. Jadi, kadar airnya yang masuk ke dalam ruang bakar akan bertambah," ujar Yuswidjajanto, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/10/2025).
Ilustrasi memperbaiki karburator motor.
Jika itu yang terjadi, menurut Yuswidjajanto, ada untung dan ruginya.
"Untungnya, pembakarannya akan terjadi dengan nilai kalor tinggi atau high heating value namanya. Sehingga, temperatur ruang bakarnya akan lebih panas dengan dayanya naik," kata Yuswidjajanto.
"Tapi, kalau ruginya, karena pembakarannya menghasilkan air dalam massa cair, maka akan menimbulkan potensi karat. Kalau masuk ke pelumas, akan menimbulkan potensi emulsi," ujarnya.
PT Pertamina (Persero) secara resmi mulai menjual Pertamax Green 95 pada 24 Juli 2023.
Dengan kata lain, penggunaan bahan bakar berbasis etanol pada motor karburator berpotensi merusak sistem bahan bakar dan pelumasan. Air hasil pembakaran bisa bercampur dengan oli mesin, menyebabkan emulsi dan mengurangi kemampuan pelumas melindungi komponen logam.
Selain itu, karburator tidak memiliki sistem tertutup dan sensor elektronik seperti pada motor injeksi modern. Akibatnya, uap air dan residu dari bioetanol lebih mudah mengendap, yang dapat mempercepat proses karat atau korosi di tangki dan saluran bahan bakar.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.