Pemerataan Akses Transportasi Umum di Kawasan Perumahan Masih Minim

Akses transportasi umum menuju kawasan perumahan di Indonesia dinilai masih sangat minim. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang memiliki akses nyaman ke transportasi umum—dalam jarak maksimal 500 meter—masih rendah di banyak provinsi.
Sebagai contoh, di wilayah Jabodetabek hanya sekitar 25 persen penduduk yang terlayani angkutan umum dengan jarak halte atau stasiun terdekat kurang dari 500 meter dari tempat tinggalnya.
Kondisi ini menunjukkan sebagian besar kawasan permukiman belum memiliki dukungan transportasi publik yang memadai.
Akibatnya, masyarakat, terutama di kota-kota kecil dan menengah, terpaksa mengandalkan kendaraan pribadi untuk beraktivitas sehari-hari.
Menurut Djoko Setijowarno, Akademisi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, lebih dari 95 persen kawasan perumahan di Indonesia belum memiliki fasilitas transportasi umum yang memadai.
“Padahal, idealnya warga bisa menjangkau halte atau stasiun hanya dengan berjalan kaki maksimal 500 meter. Tanpa akses transportasi umum yang layak, kawasan perumahan menjadi kurang layak huni,” kata Djoko kepada Kompas.com, Sabtu (4/10/2025).
Ia menambahkan, kurangnya akses transportasi publik juga berdampak langsung pada meningkatnya biaya hidup masyarakat. Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) BPS 2018, biaya transportasi menyumbang rata-rata 12,46 persen dari total pengeluaran rumah tangga, melebihi standar ideal Bank Dunia yang menetapkan maksimal 10 persen.
Potret Halte Jaga Jakarta, Senen, Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025).
“Ketika layanan angkutan umum menurun, warga terpaksa membeli dan menggunakan kendaraan pribadi. Akibatnya, biaya transportasi rumah tangga naik dan lalu lintas semakin padat,” ujarnya.
Djoko menilai, salah satu akar persoalan adalah tidak adanya kewajiban hukum bagi pengembang perumahan untuk menyediakan akses transportasi umum. Ia menyarankan agar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman direvisi, sehingga fasilitas transportasi umum dimasukkan sebagai bagian dari sarana umum yang wajib disediakan.
“Sebelum tahun 1990-an, pembangunan perumahan selalu diimbangi dengan layanan angkutan umum seperti bus Damri atau angkutan kota. Sekarang, hal itu sudah jarang terjadi, meskipun perumahan baru terus bermunculan,” kata Djoko.
Ia menegaskan, pemerintah pusat dan daerah perlu berkolaborasi untuk membenahi akses transportasi publik di sekitar kawasan hunian, agar masyarakat tidak terus terjebak dalam ketergantungan pada kendaraan pribadi.