Korlantas Soroti 'Kendaraan Preman' dan Rasa Punya Privilese di Jalan

Brigjen Pol Faizal, Direktur Penegakan Hukum Korlantas Polri, mengungkapkan bahwa sejak tahun 2021 hingga 2025 pihaknya telah menindak lebih dari dua ribu pelanggaran terkait penggunaan rotator dan sirene ilegal.
Menurutnya, dasar hukum penggunaan sirene dan rotator sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang juga merupakan kelanjutan dari aturan sebelumnya dalam UU Nomor 14 Tahun 1992. Sanksinya, kata Faizal, berupa tilang dengan ancaman kurungan satu bulan atau denda Rp250 ribu, serta kewajiban mencopot perangkat tersebut dari kendaraan.
Lebih lanjut, Faizal menyebutkan pelanggaran ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum. Ada juga oknum pejabat atau pengendara yang merasa memiliki privilese di jalanan.
“Campur, pejabat ada, masyarakat juga ada. Karena mereka merasa mungkin punya agak pede-pede dikit. Tapi kita minta pada mereka, jalan itu adalah tempat untuk berempati, tempat kita saling menghargai,” tuturnya.
Untuk menekan penyalahgunaan, Korlantas telah mengirim surat resmi ke satuan kerja Polri agar memperketat pengawasan terhadap kendaraan dinas. Langkah ini bertujuan memastikan bahwa sirene dan rotator hanya digunakan sesuai peruntukannya, seperti untuk kendaraan dinas kepolisian, ambulans, atau pemadam kebakaran.
Faizal mengingatkan, penggunaan sirene dan strobo di kendaraan pribadi tanpa izin jelas melanggar hukum.
“Kalau kendaraan dinas seperti yang saya pakai menggunakan rotator atau sirene, itu tidak masalah karena untuk kepentingan dinas. Tapi yang jadi masalah, banyak kendaraan ‘preman’, pelatnya ‘preman’, pakai strobo bahkan sirene,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Brigjen Faizal menegaskan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga etika di jalan raya.
“Rotator bukan simbol kuasa atau gaya-gayaan. Kalau semua ingin merasa penting di jalan, lalu siapa yang mau tertib? Jalan itu milik bersama, bukan tempat untuk pamer,” papar dia.